Ikan dan Kehidupan

Berdoa
Berdo’a di dermaga

Seorang pria berkumis tebal tanpa jenggot, perutnya buncit dan kerap memakai topi, mas Yanto namanya. Menunggu ku di depan rumah, sesuai janjinya kemarin, belio akan mengajakku ngerut (menjaring ikan di pinggir danau) pagi hari ini, bersama 5 orang rekannya. Kegiatan ini pasti sangat menyenangkan. Akan menjadi sebuah pengalaman baru untukku.

Pukul 8 kita sudah bergerak menyiapkan alat. Jaring, sampan dan keranjang ikan sudah tersedia. Mas Yanto bersama rekannya berdiri di atas dermaga dengan wajah-wajah yang tak biasa. Ada seseorang yang berbisik, entah apa yang di bicarakan. Seketika mereka semua berjongkok dan menundukkan kepala seolah berdo’a. Aku melihat sedikit kekhawatiran di raut wajah mereka, tapi entah apa kekhawatiran itu. “Tenang saja, tidak ada apa-apa. Ayo kita lanjut bekerja.” Ujar mas Yanto berusaha membuatku tetap tenang.

Kami mulai membenamkan setengah tubuh ke dalam air danau yang dingin. Tanpa ragu aku ikut naik ke sampan kecil untuk melihat langsung proses penyebaran jaring. Walau sedikit khawatir sampan bisa terjungkal, mengingat sampan ini berukuran kecil yang hanya cukup satu orang.

Bang Len mulai mengayuh sampan hingga jarak 50 meter dari tepi danau. Ia mulai menurunkan jaring secara perlahan, dan aku sibuk menjaga keseimbangan sambil membuang air yang masuk kedalam sampan menggunakan botol air mineral yang dipotong dua. “Hati-hati jangan sampai tercebur, disini kedalam sudah sampai 5 meter!” Bang Len mengingatkan. Walaupun aku bisa berenang, tapi aku tidak mau meremehkan danau ini.

Jaring sudah terbenam sepenuhnya, bang Len memukul-mukul air guna menakuti ikan agar masuk kedalam perangkap. Pelampung yang berwarna putih mulai bergeser perlahan ditarik oleh empat pria berbadan kurus kekar dari tepi danau. Aku dan bang Len bergegas ke tepi untuk membantu menarik jaring. Hanya empat orang yang menarik tali tidaklah cukup, karena beban begitu berat. Akan terasa ringan jika dikerjakan bersama.

Ini bukanlah pekerjaan yang mudah untuk seorang awam sepertiku. Baru 15 menit menarik, telapak tanganku sudah sakit sekali, merah dan panas rasanya. Mas Yanto tertawa melihat tingkahku yang sedang merasakan kesakitan, “wajar orang kota, saya saja yang sudah terbiasa masih terasa sakit jika sudah empat atau lima kali tarikan.” Ujarnya meledek.

Perlaha jaring mulai merapat ke tepi, terlihat dari pelampung yang semakin mendekat. Semakin ke tepi semakin berat pula bebannya. Wajar saja, ternyata jaring tidak hanya membawa ikan melainkan tanaman ganggang – sejenis rumput yang tumbuh di dasar danau tempat ikan bersemayam.

Saat jaring sudah sampai di tepi, kami mulai memindahkan ganggang perlahan dengan tangan sambil meraba untuk merasakan terdapat ikan atau tidak. Ikan-ikan yang kecil kami lepaskan, target kami hanya ikan yang berukuran besar – sebesar telapak tangan pria dewasa atau lebih.

Aku belum puas melihat tangkapan ikan-ikan ini, karena belum mendapatkan yang begitu besar. Kata mas Yanto, jika kita beruntung kita bisa mendapatkan ikan Nila yang besarnya mencapai dua telapak tangan pria dewasa. Mata ku terpaku begitu tajam di antara air yang begitu keruh. Meski tubuh ku terasa gatal karena ganggang yang menempel di tubuh, aku tidak peduli, yang hanya aku pedulikan cuma ikan besar.

Tiba-tiba mas Yanto berteriak, “itu Len di dekat mu!” Sambil menunjuk kearah belukar ganggang. Jelas aku melihat ikan besar itu, kilau sisiknya memantulkan cahaya. Dengan cekatan bang Len meraba ganggang di sekitar kakinya. “Nahhh! Kena kau yaa!” Teriak bang Len, dengan tangan yang masih terbenam di dalam air. Hatiku mulai merasa senang karena aku tau pasti itu ikan besar, karena aku sendiri yang melihatnya tadi, berenang ketakutan masuk di antara celah-celah ganggang. Bang Len mengeluarkan tangannya dari air, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan sial itu hanya guyonan Bang Len untuk membuat kami tertawa. Ternyata yang dia tangkap adalah sandal jepit butut yang di tinggalkan pemiliknya di dasar danau. “Hahaha….!” Sontak kami semua tertawa, melepas lelah pekerjaan ini.

Kami sudah melakukan 5 kali tarikan, satu kali tarikan membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Dengan 5 tarikan ini kami mampu mengumpulkan ikan sebanyak 10 kg. Ikan-ikan ini tidak untuk di jual, hanya untuk di konsumsi pribadi.

Pukul 12 kami beristirahat. Rekanku yang lain masing-masing pulang untuk makan siang. Hanya aku dan mas yanto menikmati kopi dan rokok di balkon rumah.

Seperti ini situasi kegiatan masyarakat di desa La’ai. Tidak hanya hasil bumi, ikan pun masih menjadi tumpuan hidup beberapa orang yang tinggal menetapinya.

Meski terkadang aku melihat desa ini jauh sekali dari moderenitas, akan tetapi masyarakat terlihat bahagia dengan apa yang mereka miliki. Status ekonomi pun tidak terlihat mencolok di sini, karena mereka hidup begitu sederhana. Tidak memandang merek pakaian apa yang mereka kenakan atau semewah apa kendaraan yang mereka bawa. Yang jelas aku hanya melihat kesetaraan sosial di desa kecil ini.

Aku tidak pernah tau sesulit apa kehidupan di desa yang mereka hadapi, tapi yang aku tau, aku hanya melihat semangat dari cara mereka hidup. Semangat itu yang harus aku tiru. Semesta memberikan kita apa yang kita butuh, buka yang kita inginkan. “Syukur salah satu kunci utama, agar kami dapat hidup bahagia dari segala kekurangan dan kelebihan yang terdapat di desa ini.” Ujar Mas Yanto dengan sebatang rokok yang terselip di bibirnya.

Proses mencari ikan
Proses mencari ikan
Bang Len sedang pamer
Bang Len sedang pamer ikannya
Beristirahat di balkon rumah
Beristirahat di balkon rumah
Bakar ikan di tepi danau
Bakar ikan di tepi danau
Ikan nila besar yang di janjikan
Ikan nila besar yang di janjikan
Gotong royong
Gotong royong menarik jaring

Leave a comment