Sang Kapten

Sang kapten
Sang kapten

Untukku perjalanan adalah sebuah meditasi, penemuan diri, bahkan sering aku anggap sebagai sekolah, tempat dimana aku belajar. Mengasah cara berpikir dengan membaca isyarat-isyarat tentang kehidupan. Biasanya aku belajar dari beberapa orang tangguh yang aku jumpai dalam perjalanan.

Begitu sering aku bertemu dengan orang-orang yang tangguh, yang tidak mengeluh di kala kehidupan melilit leher mereka. Sulit bernafas jelas. Dengan nafas yang tersengal-sengal mereka tetap mencari kehidupan, tak peduli bahaya yang mengintai. Seperti halnya aku berjumpa dengan Bang Ote, panggilan akrab seorang pria paru baya. Umurnya berkisar 50 tahun, semua terlihat dari guratan-guratan kulit di wajahnya yang tidak lagi kencang. Dadanya tegap, tinggi dan kekar. Telapak tangannya kasar, itu sebuah gambaran jika beliau adalah seorang pekerja keras.

Sambil menunggu penumpang lain, aku dan Bang Ote berbincang di tepi jalan.

“Boleh itu?” Tanya Bang Ote.

“Apa yang boleh bang?” Jawabku.

“Topi mu bagus, boleh buat saya?” Pinta ia, topi trucker hitam. Tanpa berat hati aku langsung memberikan topi yang aku kenakan.

“Wahh! Terimakasih dek, ini sebagai gantinya saya kasih kamu pipa rokok buatan saya sendiri. Terbuat dari kayu.” Rayu Bang Ote senang.

“Sama-sama bang, anggap saja kenang-kenangan dari saya.”

“Simpan nomer hp saya dek, suatu saat kalau kamu main kemari lagi bisa langsung hubungi saya. Menginap saja di rumah saya nanti.” Bujuknya senang.

Seketika aku dianggap teman dengan Bang Ote, bukan lagi sebagai pengunjung yang harus membayar ini itu. Aku tidak terlalu berharap banyak untuk itu. Efek senang sesaat atau memang ia tulus dengan tawarannya, yang jelas aku sudah berbaik hati padanya dengan memberi topi yang aku miliki.

Bang Ote adalah seorang pemilik perahu penyebrangan dari Desa Tebakak– Pulau Pisang. Desa Tebakak terletak di Pesisir Barat Lampung. Desa ini juga memiliki dermaga penyeberangan untuk menuju Pulau Pisang. Dermaga lain terdapat di Pelabuhan Jukung. Menyebrang akan lebih singkat dari desa ini, hanya ± 15 menit kita dapat tiba di Pulau Pisang. Berbeda jika menyebrang dari Pelabuhan Jukung, yang dapat memakan waktu hingga hampir satu jam.

Dermaga Tebakak — sebuah dermaga yang sama sekali tidak memiliki dermaga pada umumnya. Tidak ada beton atau kayu yang memanjang lepas keluar dari bibir pantai, yang biasa dijadikan tempat perahu bersandar. Di sini hanya terdapat bibir pantai dimana perahu-perahu berlabuh. Akan menjadi sebuah masalah untuk perahu yang ingin lepas berlayar menuju pulau, mengingat ombak besar yang menggulung garis pantai dengan kencang. Belum lagi batu-batu karang sebesar mobil mini bus yang menjadi hiasan di garis pantai ini. Sedikit lengah, tubuh bisa terhempas ombak lalu menghantam batu karang.

Pukul 1 siang aku mulai menyebrang, menggunakan perahu milik Bang Ote bersama enam penumpang lain, dua pasang muda-mudi yang sedang bertamasya, satu orang guru beserta temanya yang tinggal di pulau.

Kami semua mulai bergotong royong mendorong perahu agar keluar dari daratan. Dua orang wanita tidak ikut membantu, karena terlalu berat dan berbahaya. Dua wanita itu hanya duduk manis di atas perahu bagai permaisuri. Kami dorong perahu perlahan dengan otot-otot kekar kami. Perlahan perahu mulai bergerak hingga menyentuh air. Lalu perahu mulai mengapung, enam orang penumpang termasuk aku bergegas naik. Dua orang anak buah Bang Ote masih tetap di dalam air, menahan cadik (penyeimbang perahu) perahu agar perahu tidak terseret ombak dan menghantam batu karang. Satu di kanan dan satu di kiri cadik. Mesin perahu mulai di hidupkan, baling-balingnya masih mengudara. Berkali-kali dua orang yang menahan cadik dihajar ombak hingga terbenam sesaat. Cadik tidak akan di lepas hingga ombak yang datang sedikit tenang. Ada jeda beberapa menit ombak besar tidak datang, itu kesempatan untuk perahu dapat berjalan. Lima menit sudah dua orang itu terhempas ombak besar, terbenam lalu timbul. Saat ombak mulai tenang, dua orang yang menahan cadik mulai melepaskannya. Baling-baling perahu mulai dibenamkan kedalam air, perahu pun berlayar menuju pulau.

Ini adalah perairan lepas samudera. Dimana ombak begitu besar, 2-3 meter tingginya. Aku khawatir sekali perahu akan terbalik, tapi aku merasa perahu ini cukup aman karena memiliki dua buah cadik di sisi kanan-kirinya sebagai penyeimbang perahu. Belum lagi Bang Ote terlihat sangat lihai dalam mengendarai perahunya.

Dengan mata yang awas Bang Ote mengendalikan perahu di buritan. Mempermainkan ombak dengan mengatur laju perahu. Berkali-kali perahu dihantam ombak besar, air memecah di haluan. Semburat air mengguyur tubuh, pakaian kami sedikit basah. Dua pasangan muda-mudi berteriak histeris, aku rasa mereka ketakutan, terlihat dari kedua tangan mereka yang menggengam badan perahu begitu kencang. Sedari tadi aku berdiri tidak seperti penumpang lain, duduk tenang karena khawatir terjatuh. Sengaja aku berdiri agar aku bisa membangkitkan adrenalin dan alasan utama adalah agar aku tidak muntah, karena 5 menit yang lalu perut sudah terasa mual.

Angin menerpa wajah bersamaan dengan terik matahari yang menggoreng tubuh.

“Hati-hati kau terjatuh!” Teriak Bang Ote mengingatkan.

“Siap kapten!” Sahut ku berteriak canda. Bang Ote tertawa melihat tingkahku yang begitu kampungan.

Sudah 15 menit perjalanan menuju pulau menggunakan perahu kecil dengan mesin bermotor. Perahu bergoyang begitu kencang, naik, turun dan naik lagi sampai kami tiba di dermaga Pulau Pisang—dermaga apung di lepas pantai pulau. Membentang lurus dari bibir pantai ± 30 meter hingga menyentuh laut. Bahan dermaga terbuat dari viber bentuknya kotak-kotak yang di satukan. Sederhana namun begitu efektif.

Tali pun di turunkan, untuk mengikat perahu di dermaga, agar perahu tak kemana. Kami semua turun tertib bergantian. Di sini aku berpisah dengan Bang Ote dan berharap esok dapat bertemu kembali.

Perut yang tadi terasa mual kini telah hilang. Detak jantung pun mulai melambat. Aku menjejakkan kaki disebuah pulau dimana aku sendiri merasa asing saat menjejak nya. Aku bernafas dalam-dalam, menghirup sebuah aroma mencium bau sebuah pengalaman baru. Apa yang akan aku dapat dan temui di pulau ini?

Bang Ote dengan topi barunya
Bang Ote dengan topi barunya
Kami bertukar barang
Kami bertukar barang
Perahu penyeberangan
Perahu kecil bermotor
Dermaga pulau pisang
Dermaga pulau pisang

Leave a comment