Pulau pisang

Dari atas menara mercusuar

Cinta” adalah sebuah kekhawatiran terakhir yang aku miliki, ketika ia pergi, maka hidup hanyalah perjalanan tanpa akhir.

Angin barat berhembus kencang di ketinggian ini, di atas menara mercusuar. Terik matahari terasa hangat, karena ini pukul empat sore. Aku duduk sambil mengantungkan kaki di celah-celah tiang pembatas mercusuar. Kurus, lusuh, dan bau, itu yang aku rasakan pada diriku.

Aku berada di puncak menara pulau pisang. Dari atas sini terlihat jelas keindahan pulau yang cukup luas. Luasnya 2.310 hektar,cukup kuasa sampai pulau ini memiliki 6 pekon (desa) yakni, pekon Lok, Sukamarga, Bandar dalam, pasar pulau pisang, Sukadana, Labuhan, pekon-pekon ini terletak di kecamatan pulau pisang.

Kecamatan ini juga sudah di dukung dengan adanya puskesmas, kantor camat, sekolah dasar (SD) dan yang membuat aku senang, terdapat juga tempat pengelolaan sampah yang dikelola dengan baik. Itu artinya pihak dinas dan warga sudah sangat sadar akan kebersihan lingkungan, sadar untuk menjaga agar keasrian pulau tempat mereka tinggal.

Malah keluh seorang warga, bang Roy mengatakan padaku,” banyak warga sudah sangat peduli dengan kebersihan, tapi wisatawan lokal bang, yang sering sekali gak mau buang sampah pada tempatnya. Kami sadar sekali, suatu saat pulau ini sudah tidak bagus lagi, otomatis pengunjung akan berkurang dan itu akan membuat berkurangnya pendapatan dari usaha lokal yang dimiliki warga.” Ucapnya dengan tegas.

Aku sangat sepakat dengan apa yang dikatakan bang Roy. Kami pun berbincang banyak dan bertukar pikiran tentang beberapa hal mengenai hidup. Bang Roy seorang nelayan lokal, juga memiliki warung makan di pulau ini. Untuk itu bang Roy tahu sekali bagaimana menjamu wisatawan dengan keramah tamahannya. Bangunan warungnya terbuat dari kayu, dan memiliki teras depan tempat meja kursi makan di letakkan, lantai luarnya sudah di semen halus, cukup bersih dan rapih. Kini warungnya menjadi targetku untuk menumpang bermalam. Aku tidak memiliki cukup uang untuk menyewa penginapan. Namun, saat aku meminta izin bermalam di teras warung, bang Roy malah menawarkan aku untuk menginap di rumah adik lelakinya. Aku menolak kebaikannya, aku tidak ingin merepotkan, untukku teras warung saja sudah seperti hotel bintang lima.

Ini pukul 05:00 sore, tinggi matahari semakin rendah, udara semakin hangat. Angin di atas mercusuar semakin kencang, hingga aku yang sedang menikmati buah pisang harus merasakan suar ini bergoyang. Aku mulai turun dari menara, berencana mencari sunset di Batu Inton—sebuah lokasi di pulau yang cukup memanjakan mata. Di Batu Inton ini terdapat batu karang yang di hinggapi lumut hijau. Saat sore hari, saat matahari mulai tenggelam, batu karang terlihat memantulkan bias cahaya kilau seperti batu permata. Kilau itu karena efek dari lumut hijau yang basah yang menempel di batu karang , dan di hujani cahaya matahari sore. Untuk seorang musafir semacam diriku, menikmati matahari terbenam adalah sebuah ritual yang tidak boleh di lewatkan. Matahari tetaplah matahari, namun terbit dan terbenam di daerah yang berbeda, akan menjadi nilai yang berbeda pula. Tetapi aku tidak sambil menikmatinya dengan minum secangkir kopi dan mendengar lagu fiersa Besari atau payung teduh, memakai Totebag dan sepatu Converse.

Pasir pantainya lembut berwarna putih, air lautnya jelas begitu biru hampir sama dengan birunya langit. Satu dua perahu nelayan bersandar di bibir pantai, terombang ambing oleh ombak tetapi tali kuat mengikatnya. Di atas batu karang, di kejauhan terlihat seorang sedang memancing ikan, sambil menikmati sebatang rokok. Tidak hanya aku yang menunggu sunset, empat orang pemudah warga lokal pun duduk di tembok pembatas ombak, bersenda gurau dan tertawa begitu lepas. Beberapa pelancong hilir mudik, dengan kamera mahal di genggaman tangannya, untuk menangkap momen yang tak terlupakan ini. Pukul 05:45—matahari semakin rendah, sorotan cahayanya membuat sisi barat pulau bermandi cahaya kuning keemasan. Ke arah barat aku berjalan menyapu bibir pantai, mencari lokasi dimana aku bisa benar-benar sendiri. Aku ingin berkontemplasi, mencari jawaban atas apa yang aku tanyakan tentang diriku dan kehidupan. Mencari pembenaran hakiki, bukan tentang diriku saja.

Bersambung.

Perahu terombang ambing
Pasir pantai yang putih, menjadi kuning keemasan saat sore hari.

One thought on “Pulau pisang

Leave a comment